Lanjutan Bab II: Hanif (Alatas) Memanipulasi Data Kitab Al-Gaybah Karya Al-Thusi Tentang Ahmad bin Isa Tidak Pernah Hijrah
Dalam kitab Al-Ghaybah
dikatakan:
Ahmad bin ‗Isa tereportase oleh seorang ulama bernama Abu
Ja‘far
Muhammad bin al-Hasan al-Tusi (w. 460 H.) dalam
kitabnya AlGaybah. Al-Tusi
menyebutkan, bahwa Ahmad bin ‗Isa bertemu Abul Hasan (w.254 H.) di Kampung
Surya di Kota Madinah, dalam kesempatan itu, Abul Hasan menyatakan bahwa
anaknya, Al-Hasan (w.260 H.), akan menjadi penggantinya kelak sebagai Imam
Syi‘ah ke-11. Di bawah ini kita perhatikan kutipan dari kitab “Al-Gaybah” karya Al-Tusi:
٨۱6-عنو عن اتٛد بن عيسى العلوي من ولد علي بن
جعفر قال: دخلت على ابي اتٟسن عليو السلام بصريَ فسلمنا عليو فإذا ت٨ن بأبي جعفر
وابي محمد قد دخلا فقمنا الى ابي جعفر لنسلم عليو فقال ابو اتٟسن عليو السلام ليس
ىذا صاحبكم عليكم
بصاحبكم واشار الى ابي محمد عليو السلام
Terjemah:
―165-Diriwayatkan darinya (Sa‘ad bin Abdullah), dari Ahmad
bin ‗Isa al-Alwi, dari keturunan ‗Ali bin Ja‘far, ia berkata: ‗Aku menemui ‗Ali
Abul Hasan, alaihissalam, di Surya, maka kami mengucapkan salam kepadanya,
kemudian kami bertemu Abi Ja‘far dan Abi Muhammad, keduanya telah masuk, maka
kami berdiri untuk Abi Ja‘far untuk mengucapkan salam kepadanya, kemudian Abul
Hasan, alalihislam, berkata: ‗Bukan dia sohibmu (pemimpinmu), perhatikanlah
pemimpinmu, dan ia mengisaratkan kepada Abi Muhammad, alaihissalam‖.[1]
Dari riwayat di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa hal: pertama bahwa Ahmad bin ‗Isa adalah seorang ―syi>‘iy ima>miy‖ (orang Syi‘ah Imamiyah), karena jarang orang non Syi‘ah akan dimasukan dalam perawi sejarah Syi‘ah Imamiyah. Kedua, redaksi di atas, juga menjelaskan kepada kita kedekatan antara Ahmad bin ‗Isa dengan Abul Hasan yang merupakan Imam Syi‘ah ke-10. Ahmad bin ‗Isa dan Abul Hasan, nasab keduanya bertemu di Ja‘far al-Sadiq, keduanya adalah generasi keempat darinya. Silsilah Abul Hasan adalah Abul Hasan bin Muhammad bin ‗Ali bin Musa al-Kadim bin Ja‘far al-Sadiq. Sedangkan silsilah Ahmad bin ‗Isa adalah Ahmad bin ‗Isa bin Muhammad al-Naqib bin ‗Ali al-Uraidi bin Ja‘far al-Sadiq.
Rupanya, ‗Ali al-Uraidi dan
keturunannya selalu setia bersama Musa al-Kadim dan keturunannya dalam sikap
politik dan keagamaan. Ibnu Inabah (w.828 H.) menyebutkan dengan jelas dalam
kitab Umdat al-Talib bahwa ‗Ali
al-Uraidi adalah penganut Syi‘ah.[2]
Demikian pula disebut dalam kitab Masa‟il
Abi Ja‟far bahwa ‗Ali al-uraidi adalah seorang penganut Syi‘ah, dan ia
selalu bersama Musa al-Kadim di rumah maupun ketika bepergian. Jika orang
hendak menghadap Musa al-Kadim untuk suatu keperluan, maka ‗Ali al-Uraidi
adalah jalan yang harus dilalui.[3]
Begitu pula kesetiaan itu ia tunjukan untuk putra Musa al-Kadim, ‗Ali al-Rido
dan cucunya, Muhammad Abu Ja‘far al-Jawad.[4]
Disebutkan oleh Al-Umari dalam kitab Al-Majdi,
‗Ali al-Uraidi sangat menghormati ayah Abul Hasan yaitu Muhammad
Abu Ja‘far, padahal ia adalah paman dari ayah Muhammad Abu Ja‘far. Al-Umari meriwayatkan pula, bahwa suatu hari Muhammad Abu Ja‘far mengunjungi ‗Ali al-Uraidi, kemudian ‗Ali al-Uraidi mempersilahkan Muhammad untuk duduk di kursinya sedangkan ‗Ali al-Uraidi berdiri tanpa bicara sedikitpun sampai Muhammad pergi.[5]
Dari kutipan Al-Tusi pula, kita
dapat mengetahui bahwa Ahmad bin ‗Isa berada di Kota Madinah pada sekitar umur
20 tahun. Perkiraan umur Ahmad bin ‗Isa itu, berdasar umur Abul Hasan ketika
bertemu dirinya di Madinah itu, di mana antara Abul Hasan dan
Ahmad bin ‗Isa adalah sama-sama generasi keempat dari
Ja‘far alSadiq. Kendati demikian, belum ada sumber yang dapat dijadikan
petunjuk, apakah ia lahir di Madinah? Atau ia lahir di Kota lain dan di Madinah
hanya menemui Abul Hasan (?) Jika ia lahir di Madinah, dan pada umur 20 tahun
ia masih berada di sana, apakah ada sumber yang menyebut ia pergi ke luar Kota
Madinah setelah itu? Ketika sebuah konklusi telah ditemukan, yaitu bahwa Ahmad
bin ‗Isa berada di Madinah pada sekitar umur 20 tahun, lalu tidak ada sumber
yang menyebut ia pergi dari Madinah, maka hendaklah kita membiarkan konklusi
itu tetap demikian, yaitu bahwa Ahmad bin ‗Isa tidak pernah pergi dari Madinah,
sampai ada bukti yang mengatakan sebaliknya. Kendatipun, misalnya, akan
ditemukan riwayat perpindahan Ahmad bin ‗Isa dari Madinah setelah pertemuannya
dengan Abul Hasan itu, maka kemungkinan besar adalah pindahnya ia ke Kota
Samira dalam rangka menemani Abul Hasan. Al-Khatib al-Bagdadi (w.392 H.) dalam
kitabnya Tarikh Bagdad menyebutkan
bahwa Khalifah AlMutawakkil mengundang Abul Hasan untuk tinggal dekat dengan
dirinya, lalu Abul Hasan pindah ke Samira dan tinggal di sana selama duapuluh
tahun sebelum ia wafat tahun 254 H. dan di makamkan di sana pula.[6]
Al-Bagdadi mencatat pula, bahwa Abul Hasan lahir tahun 214 H., berarti, ketika
ia wafat berumur 40 tahun, dan peristiwa hijrah itu terjadi di tahun 234
Hijriah.[7]
Melihat kedekatan Ahmad bin ‗Isa dengan Abul Hasan, maka kemungkinan besar,
jika sahih (benar) ditemukan berita
kepindahannya, maka ia akan pindah ke Samira, bukan ke Hadramaut. Samira,
adalah salah satu destinasi kota yang
menjadi tempat tinggal para keturunan Nabi Muhammad Saw. jalur Ja‘far al-Sadiq,
selain Bagdad, Basrah, Qum, Ray, Najaf, Syairaz, Asfihan, Kufah, Syam dan
beberapa kota lain di Irak dan Iran. Tidak ditemukan riwayat sejarah yang
menyebut ada di antara mereka yang hijrah ke Hadramaut.
Sulit sekali untuk dimengerti dan diterima
logika peneliti, seorang Syi‘ah Imamiyah seperti Ahmad bin ‗Isa, kemudian ia
hijrah ke Hadramaut yang ketika itu dikuasai oleh kaum Ibadiyah yang anti terhadap Syi‘ah. Jika pun ia harus pindah, maka
ia seyogyanya akan memilih San‘a yang dikuasai oleh Syi‘ah Zaidiyah Hadawiyah.
Walaupun berbeda dalam beberapa pandangan keagamaan, tapi tentu akan lebih bisa
diterima dibanding dengan Ibadiyah.
Hal ini, kemudian membuat sejarawan Ba‘alwi harus bersusah payah mengarang
kisah ahistoris di mana dikatakan, misalnya oleh AlSyatiri dalam kitabnya Adwar al-Tarikh al-Hadrami, bahwa ketika
datang ke Hadramaut, Ahmad bin ‗Isa berdebat dengan ulama „Ibadiyah, seperti dapat diterka, kemudian Ahmad bin ‗Isa
memenangkan perdebatan itu, dan membuat ulama „Ibadiyah terdiam.[8]
Penulis tidak menyarankan kepada pembaca untuk menjadikan buku Al-Syatiri ini
sebagai referensi tentang sejarah Hadramaut, karena apa yang ditulis oleh
Al-Syatiri ini, terutama tentang kisah keluarga Ba‘alwi, nyaris tanpa referensi
sama sekali. Daripada sebuah buku sejarah, lebih tepat buku tersebut dikatakan
sebagai sebuah buku novel dengan latar belakang ilmiyah. Begitupula, buku-buku
yang dikarang atau ditahqiq
(diterbitkan dengan dilengkapi berbagai macam kekurangan misalnya dari sisi
huruf yang salah tulis atau tidak terbaca karena tua) oleh keluarga Ba‘alwi
lainnya, jangan dijadikan sebagai referensi untuk melihat sejarah Hadramaut
mulai abad ketiga sampai hari ini. Hal yang demikian itu, karena semangat yang
dominan dari penahqiqan dan penulisan sejarah itu, hanyalah ditenagai oleh
upaya melengkapi kesejarahan nama-nama silsilah keluarga Ba‘alwi yang
terpotong, kontradiktif dan ahistoris. Dengan melihat historiografi Hadramaut
dari buku-buku yang tidak terpercaya, kita bukan akan melihat fakta sejarah
Hadramaut sesunggunya, tetapi hanya melihat sejarah yang diciptakan untuk suatu
kepentingan.
Dari kutipan Al-Tusi pula, kita
bisa melihat, bagaimana cipta sejarah Ba‘alwi akan menghadapi kontradiksi
dilihat dari urutan tahun yang mereka ciptakan. Misalnya, Ba‘alwi mencatat,
bahwa tahun hijrah Ahmad bin ‗Isa ke Hadramaut adalah tahun 317 Hijriah, dan
tahun wafatnya adalah tahun 345 Hijriah. Jika Ahmad bin ‗Isa, pada tahun 234 H.
berumur 20 tahun, maka berarti ketika hijrah itu ia telah berumur 103 tahun,
dan ketika wafat ia telah berumur 131 tahun. Sangat janggal, ada seseorang yang
sudah tua renta yang berumur 103 tahun berpindah dari Basrah ke Hadramaut
dengan jarak lebih dari 2000 km. seperti juga sangat kecil kemungkinan ada
orang yang bisa mencapai usia 131 tahun. Perkiraaan umur 20 tahun untuk Ahmad
bin ‗Isa dengan melihat umur Abul hasan itu, adalah perkiraan untuk menjaga
keadilan ilmiyah, bisa jadi, ketika bertemu Abul Hasan itu, Ahmad bin ‗Isa
telah berumur lebih dari itu. Jika diperkirakan umur Ahmad bin ‗Isa telah
mencapai umur 40 tahun saja, maka berarti ketika ia wafat telah mencapai umur
151 tahun. Jika dikatakan, bizsa pula sebaliknya terjadi, yaitu bahwa umur
Ahmad bin ‗Isa ketika bertemu Abul hasan itu kurang dari 20 tahun. Kemungkinan
itu bisa saja terjadi, tetapi tidak akan kurang dari umur balig yaitu 15 tahun,
karena pembicaraan tentang ―imamah‖ dari Abul Hasan kepada Ahmad bin ‗Isa
adalah suatu wasiyat atau kesaksian yang penting, yaitu bahwa yang akan
menggantikan Abul Hasan adalah anaknya yang bernama Al-Hasan, bukan anak
lainnya, tentu wasiyat dan kesaksian semacam ini tidak sah diberikan kepada
anak kecil yang belum balig.
Lalu Hanif dkk. menyanggah bahwa
Ahmad bin Isa dalam kitab Al-gaybah itu bukan Ahmad bin Isa bin Muhammad
al-naqib, tetapi Ahmad bin Isa bin Ali al-Uraidi. Dengan beberapa alasan yang
Hanif sampaikan:
Pertama: Ahmad bin Isa baru lahir
tahun 260 H. sedangkan Abul hasan wafat tahun 254 H. bagaimana orang yang sudah
wafat dapat ditemui Ahmad bin Isa? jawaban penulis adalah: yang salah adalah
tahun lahir Ahmad bin Isa yang ditulis oleh penulis kalangan Ba‘alwi bahwa
Ahmad bin Isa lahir tahun 260 H. Penulis kalangan Ba‘alwi ketika menentukan
tahun lahir Ahmad bin Isa itu hanya modal nembak saja, tidak berdasarkan data
referensi apapun. Tahun wafat Ahmad bin Isa tahun 345 H. pun hanya hasil nembak
tidak ada data atau sumber apapun.
Kedua: Ahmad bin Isa yang ditulis
kitab Al-gaybah katanya bukan Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib tetapi Ahmad
bin Isa bin Ali al-Uraidi berdasarkan apa yang ada dalam kitab Al-Majdi bahwa
ada nama Ahmad bin Isa bin Ali al-Uraidi. Dalam Al-Majdi dikatakan: .وأما عيسى بن العريضي تفرد بروايتو والدي فأولد
حسنا وأتٛد
Terjemah:
"Adapun tentang Isa ibn (Ali) al-'Uraidhi,
hanya ayahku yang meriwayatkannya, ia punya anak Hasan dan Ahmad. "[9]
Sampai di sini penulis seapakat ada nama Ahmad bin
Isa bin Al aluraidi.
Tetapi yang disebut kitab Al-gaybah
itu jelas adalah Ahmad bin Isa bin Muhammad Al-Naqib bin Ali al-Uraidi. Mari
kita sisir kalimat perkalimat: Perhatikan kalimat:
عن اتٛد بن عيسى
العلوي من ولد علي بن جعفر
Penulis menterjemahkannya: Dari
Ahmad bin Isa Al-Alawi dari keturunan Ali bin Ja‘far jelas.
Siapa Ahmad bin Isa yang keturunan
Ali bin Jafar? Ya jelas Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Jafar.
Kalau yang dimaksud adalah Ahmad
bin Isa bin Ali, maka seharusnya ditulis:
عن اتٛد بن عيسى العلوي بن علي بن جعفر
Lalu kenapa kitab Al-gaybah menulisnya:
عن اتٛد بن عيسى العلوي من ولد علي بن جعفر
kenapa ada kalimat “min
wuldi” (dari keturunan/anak-anak)?
Lafad “min wuldi” itu menjadi khabar dari “wahuwa” yang disimpan, taqdirnya “Wahuwa min wuldi Ali”. dlamir “huwa”-nya
kembali kepada Ahmad. tidak bisa dlamir “huwa”
kembali kepada
Isa, karena Isa itu hanya menjadi Mudlaf Ilaih dari ―Ibnu‖.
Lafad “ibnu” nya menjadi sifat dari
Ahmad.
Maka yang ada dalam kitab Al-Gaybah itu jelas: Ahmad bin Isa bin
Muhammad Al-Naqib bin Ali al-uaridi bin jafar al-Shadiq.
Lalu siapa yang berdusta? Boleh
diuji di hadapan para ahli bahasa dunia.
Makam Ahmad bin
Isa Palsu
Hanif tidak terima ketika penulis
mengungkapkan bahwa tidak ada satupun kitab sebelum abad ke-sembilan yang
menyatakan Ahmad bin Isa dimakamkan di Hadramaut. Kitab yang menyatakan Ahmad
bin Isa dimakamkan di Hadramaut baru muncul di abad ke-9 H. berbarengan dengan
pengakuan Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi.
Tetapi begitupun ia tidak terima,
tidak ada satupun kitab yang ia sajikan untuk membantahnya. Alih-alih ia
menjawab, malah ia bertanya tentang bukti kitab yang menunjukan makam Bunda
Aminah (Ibunda Nabi Muhammad SAW). jika adanya makam Ahmad bin Isa harus
dibuktikan dengan catatan, Hanif bertanya mana catatan tentang makam Bunda
Aminah. Naudzubillah, untuk mempertahankan nasab, siapapun dari orang orang
besar umat Islam ia jadikan bemper untuk dijadikan alasan. Itulah ciri manusia
tidak berakhlak kepada Baginda Nabi besar Muhammad SAW.
Melakukan Kebohongan Publik
Nasab Ba’alwi Terputus 550 Tahun
Hanif Alatas dkk. dalam bukunya
menyatakan bahwa narasi nasab Ba‘alwi terputus 550 tahun sebagai kebohongan
public, tanpa ia dapat menyuguhkan kitab apa yang dapat menjawab keterputusan
nasab Ba‘alwi tersebut. Terputusnya nasab Ba‘alwi sebenarnya, bukan 550 tahun,
tetapi 651 tahun, dihitung mulai wafatnya Ahmad bin Isa tahun 345 H. sampai
tercatatnya nama-nama keluarga Ba‘alwiAbdurrahman Assegaf dalam kitab Tuhfat
al-Thalib tahun 996 H. yang ditulis tanpa referensi. Dari situ nasab Ba‘alwi
adalah nasab palsu yang tiba-tiba muncul dari ruang hampa.
Adapun narasi terputus selama 550
tahun dihitung sampai pengaakuan sepihak dari keluarga Ba‘alwi tahun 895 H.
dalam kitab Al-Burqat al-Musyiqah. Yang pantas disebut kebohongan public adalah
klan Ba‘alwi yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW tanpa adanya data
dan sumber pendukung.
Mufti Yaman Membatalkan Nasab Ba’alwi
Hanif menganggap penting seseorang
melakukan penilaian pengitsbatan atau pembatalan terhadap suatu nasab tanpa
adanya penelitian. Bagi penulis tidak penting apakah Mufti Yaman mengitsbat
atau membatalkan nasab Ba‘alwi, karena berita pembatalan Mufti Yaman terhadap
nasab Ba‘alwi yang terdapat dalam salah satu surat kabar online dari Yaman itu
tanpa adanya dalil apapun.
Ketika penulis mengangkat berita
itu hanya ingin mengatakan bahwa ternyata pandangan yang sama bahwa nasab
Ba‘alwi batal itu tidak hanya keluar dari penelitian penulis, tetapi banyak
ulama yang lain di dunia juga membatalkan nasab Ba‘alwi di antaranya adalah
Mufti Yaman sesuai dengan berita di media online tersebut. Seandainya Mufti
Yaman-pun kemudian mengitsbat nasab Ba‘alwi, maka penulis siap berdiskusi
dengan Mufti Yaman itu, karena dalildalil terputusnya nasab Ba‘alwi yang
penulis miliki, menurut penulis, lebih presisi dari berbagai tulisan ulama di
dunia yang telah membatalkan nasab Ba‘alwi.
Naqabah Internasional Tidak Mengakui Nasab Ba’alwi
Hanif membuat framing bahwa
penulis mengkampanyekan bahwa Naqobah Internasional tidak mengakui nasab
Ba‘alwi. padahal justru, penulis termasuk orang yang tidak melandaskan
penelitian nasab Ba‘alwi terhadap pendapat para pengurus Naqobah, kenapa? Karena
Naqobah setiap keluarga mempunyai kode etik hanya mengurusi keluarganya saja
dan tidak mencampuri urusan keluarga lain, apalagi sampai membatalkan nasab
keluarga lain.
Yang menjadi landasan utama dari
penelitian nasab adalah kitab-kitab nasab, bukan pendapat dari organisasi
naqobah. Kemudian untuk menguji kesejarahan masing-masing nama yang diteliti
ditambah dengan kitab-kitab sejarah.
Dalam bukunya tersebut Hanif dkk.
menampilkan beberapa tandatangan pengitsbatan dari Naqobah atau individu tanpa
adanya dalil yang dapat dipertanggungjawabkan. dalam kiadah ilmu nasab
tandatangan-tandatangan seperti itu tidak bermakna apa-apa dalam membantu
mensahihkan nasab yang jelas batal seperti nasab Ba‘alwi. Syaikh Khalil bin
Ibrahim menyebutkan satu kaidah:
لا عبرة بكثرة التواقع ان لم يكن النسب صحيحا
فكثرة التواقيع لا تصحح خطأ والتوقيع حجة على من وقع لا حجة على غتَه
Terjemah:
―Tidak ada nilainya banyaknya tandatangan jika nasab
itu tidak sahih. Banyaknya tandatangan tidak mensahihkan yang salah.
Tandatangan itu hujjah bagi penandatangan bukan hujjah bagi yang lainnya.‖[10]
Syaikh Al-Turbani Membatalkan Nasab Ba’alwi
Hanif Alatas dkk. menyatakan bahwa tulisan penulis yang
menyatakan bahwa Syekh Al-Turbani membatalkan nasab Ba‘alwi adalah hoaks,
padahal itu adalah fakta. Bahwa kemudian Syekh AlTurbani kemudian menarik
pendapatnya itu hal lain.
Yang menarik adalah Hanif dkk. mendapatkan berita penarikan
pendapat Syaikh al-Turbani itu hanya berdasarkan komunikasi di facebook.
Sekali lagi penulis sampaikan bahwa
kesimpulan batalnya nasab Ba‘alwi yang sudah final itu tidak penulis sandarkan
kepada siapapun untuk bertanggung-jawab, penulis mempertanggungjawabkan
kesimpulan bahwa nasab Ba‘alwi ini adalah nasab palsu secara ilmiyah secara
pribadi. Bersamaan dengan itu, kutipan-kutipan atau bacaanbacaan penulis
terhadap pendapat-pendapat ulama terdahulu tentang nasab Ba‘alwi, penulis
jadikan sebagai sumber-sumber penelitian untuk mendapatkan kesimpulan yang
sempurna.
Kesimpulan Batalnya Nasab Ba’alwi adalah Sebuah Tesis
Hanif menggugat penulis yang
menyebut kesimpulan batalnya nasab Ba‘alwi ini sebagai sebuah tesis. Menurut
Hanif, tesis hanya bermakna sebuah karya ilmiyah yang ditulis sebagai tugas
akhir dari sebuah perguruan tinggi. Tentu apa yang disampaikan Hanif itu
mencerminkan ia kurang berpariwisata dalam dunia filsafat, khususnya tentang
teori Dialektika Hegel.
Tesis adalah titik awal dalam
proses Dialektika Hegel, yang mewakili gagasan atau pandangan tertentu dalam
suatu konteks. Dalam konteks akademis, tesis melambangkan konsep yang diajukan
oleh individu atau kelompok sebagai landasan untuk pemahaman lebih lanjut.
Setiap penelitian atau teori dimulai dengan tesis, yang mencerminkan pemahaman
saat ini tentang subjek tertentu. Sampai di sini mudah-mudahan Hanif dkk. telah
memahami apa yang disebut sebuah tesis.
Menjiplak Pemikiran Orientalis Dan Tokoh Non Aswaja Menjiplak Pemikiran
orinetalis Untuk Membatalkan Nasab
Ba’alwi
Hanif menuduh penulis menjiplak
pemikiran orientalis dalam membatalkan nasab Ba‘alwi.padahal telah terbukti
dalam pemaparan penulis sebelumnya bahwa metode penulis dalam membatalkan nasab
Ba‘alwi adalah dengan menggunakan metode Ilmu Nasab.
Metode itsbat nasab yang terdapat
dalam kitab ilmu nasab semacam Rasa‘il fi ‗Ilm al-Ansab ada tujuh dari ketujuh
metode itu semuanya menyatakan Ba‘alwi batal.
Pertama:
Metode Syuhroh wal Al Istifadlah. Dengan
menggunakan metode pertama ini nasab Ba‘alwi batal
karena Syuhrah (popular) mempunyai syarat yaitu ―Adam al-Mu‘aridl‖ (tidak ada
dalil penentang), sedangkan kitab pengakuan Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi di
abad ke-9 H. bertentangan dengan kitab nasab di abad ke-6 H. yaitu kitab
Al-Syajarah al-Mubarakah yang menyatakan anak Ahmad bin Isa hanya
tiga:Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada anak Ahmad bin Isa bernama Ubaid,
Ubaidullah atau Abdullah.
Pakar ilmu Nasab Syekh Husain bin haidar al-Hasimi
dalam kitabnya Rasa‘il fi ‗ilm al-Ansab mengatakan:
الطريق الأول : اسْتفَاضَة النسب وشهرتو في بلده
، شهرة تثمر علماً ، واستفاضة بتُ بتُ عددٍ عدد مِن الناسِ يقع العلم يخبرىم أو
الفن القوي ، ويؤمن توافقهم على الكذب ، مع عدم ات١عارض
Terjemah:
―pertama, adalah dengan “istifadlotunnasab” (menyebarnya nasab) dan “syuhratunnasab” (popularnya nasab) di desanya dengan popular yang
membuahkan keyakinan dan dengan menyebar antara manusia yang bisa terjadi
keyakinan dengan berita mereka, atau dugaan kuat, dan aman dari kemungkinan
kesepakatan mereka untuk berdusta, dengan disertai tidak adanya dalil yang
menentang.‖[11]
Kedua: Metode Kitab-kitab Nasab. Menggunakan metode kitab-kitab
nasab nasab Ba‘alwi batal karena kitab-kitab nasab bisa digunakan sebagai
pengitsbat nasab mempunyai syarat yaitu sebuah kitab nasab tidak boleh
bertentangan dengan isi kitab nasab sebelumnya. Sedangkan kitab nasab yang
mengitsbat Ba‘alwi baru ada di abad ke- 9 dan 10 H. yang bertentangan dengan
kitab sebelumnya.
Perhatikan apa yang dikatakan dalam Kitab Nihayatul Muhtaj juz 8 h. 319 karya Imam
Ramli: )وَلوُ
الشَّهَادَةُ بِالتسَامُعِ( حَيْثُ لَمْ ي عَارضْوُ أقْ وى مِنوُ كَإِنكَارِ
المَنْسُوبِ إليْوِ أوْ طعْنِ أحَدٍ في الِانتسَابِ إليْوِ، ن عَمْ ي تجَوُ أنوُ
لَا بدَّ مِنْ طعْنٍ لَمْ تَ قُمْ قرِينَةٌ عَلى كَذِبِ قائِل وِ
―Dan boleh baginya bersaksi dengan tasamu‟ ketika tidak ada penentang yang
lebih kuat dari tasamu‟, seperti
inkarnya orang yang dinisbahkan, atau adanya tha‟n (celaan) seseorang dalam nasab itu. benar hukum demikian
bahwa tasamu‘ gugur dengan adanya inkar dan tha‟n,
tetapi menurut pendapat yang kuat, bahwa disyaratkan tha‟n itu tidak disertai tanda-tanda kedustaan
orang yang menyampaikannya‖
Jelas metode para Nassabah (pakar
nasab) dan pakar fikih membatalkan nasab Ba‘alwi dengan metode Syuhrah
wal-Istifadlah karena kesyuhra-an Ba‘alwi ditolak oleh kitab nasab abad ke-6 H.
AlSyajarah al-Mubarakah.
Syekh Khalil
Ibrahim dalam kitab Al Muqaddimat fi „Ilm
al Ansab: شروط
اعتماد الرقعة ٔ. ان لا تكون ت٥الفة للاصول―Syarat menjadikan
kitab nasab sebagai pegangan adalah pertama ia tidak boleh berbeda dengan
kitab-kitab asal‖ [12]
Dalam Kitab Ushulu „Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain
alAnsab karya Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani dikatakan: و لا يدكننا اتٟديث عن النسب القدنً بناءاً على ما
ورد في الكتب اتٟديثة
ات١ستندة إلى كلام غتَ منطقى أو على الذاكرة الشعبية
فقط،
―Dan tidak mungkin kita berbicara
nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar
kepada pendapat yang tidak logis atau berdasar memori bangsa saja.‖[13]
Jadi jelas, kitab andalan Ba‘alwi Al-Burqat al-Musyiqah, Aljauhar al-Syafaf,
Al-Nafhah al-Anbariyah yang semuanya ada di abad ke-9 H. tidak bisa digunakan
sebagai itsbat nasab Ba‘alwi karena bertentangan dengan kitab nasab yang lebih
tua yaitu Al-Syajarah alMubarakah di abad ke-6 H.
Ketiga: Metode Syahadah/Al-Bayyinah al-Syar’iyyah. Kesakisan dua
orang saksi ini bisa dilakukan untuk kesaksian orang yang hidup hari ini. Tidak
bisa untuk Ubaid yang hidup seribu tahun lalu. Syekh Khalil Ibrahim mengatakan
tentang Al-bayyinah alSyar‟iyyah
dalam kitabnya Muqaddimat fi „ilmi
al-Ansab:
أقول:إن ىذا الأمر ليس في ثبوت نسب القبائل بل يعمل بو في إتٟاق نسب طفل
بأبيو
―Aku berkata sesungguhnya masalah ini (Al-Bayyinah alSyar‟iyyah) bukan untuk
menetapkan nasab qabilah-qabilah, tetapi digunakan untuk menetapkan nasab anak
kepada ayahnya.‖[14]
(Muqaddimat, 62).
Jadi, metode dua orang saksi ini
menurut para ahli nasab tidak bisa digunakan untuk mengitsbat Ubaid sebagai
anak Ahmad.
Keempat: Metode Ikrar. Menurut Syekh Khalil Ibrahim dalam kitab Muqaddimat, metode I‟tiraf dan iqrar ini
pula tidak bisa mengitsbat nasab yang jauh seperti Ubaid. Ia digunakan hanya
untuk nasab orang yang hari ini hidup:
أقول: إن ىذا الامر لا يخص نسب القبائل بل ىو يخص النسب الفردي ات١شكوك
في صحتو فعندما يقر ويعتًف الأب بأبوتو ت٢ذا الطفل أو الولد يلحق بو وبنسبو
―Aku berkata, sesungguhnya masalah ini tidak
menentukan nasab kabilah-kabilah tetapi ia menentukan nasab seseorang yang
diragukan kesahihannya. Maka ketika seorang ayah berI‟tiraf dan ber-ikrar bahwa
ia bapak dari anak ini maka anak ini di-itsbat
kepadanya dan kepada nasabnya.‖
Kelima: Metode I’tirafالطريق ات٠امس : أن يعتًف رجل عاقل ويقر ، أن
فلانًً يكون ابنو، ويكون ات١دعي ت٦ن يولد مثلو ت١ثل الدعي ، وانتفت ات١وانع
―Metode yang kelima adalah I‟tiraf atau iqrar
seorang laki-laki yang berakal bahwa fulan adalah anaknya. Dan orang yang diaku
haruslah orang yang pantas diakui (sebagai anak) untuk pengaku. Dan tidak ada
penghalang (untuk pengakuan itu).‖[15]
Cara I‟tiraf dan ikrar seorang
ayah kepada anak ini pula menurut syekh Khalil Ibrahim, digunakan untuk orang
yang masih hidup bukan untuk orang yang sudah ribuan tahun wafat seperti Ubaid.
Keenam: Metode Qiyafah. Metode inipun hanya bisa dilakukan untuk
orang yang hari ini masih hidup untuk melihat keserupaan antara keduanya. Bukan
untuk mengitsbat nasab jauh karena kita tidak bisa membandingkan antara Ubaid
dan Ahmad bin Isa yang sudah wafat seribu tahun yang silam.
Ketujuh: Metode Qur’ah. Al-Qur‟ah (diundi) digunakan sebagai
itsbat nasab berdasarkan hadits Zaid
bin Arqam ia berkata: كُنْتُ
جالسًا عند النَّبِيّ صلى اللهُ عليو وسلم، فجاء رجُلٌ مِن أىلِ اليمَنِ فقال:
إنَّ ثلاثةَ نفَرٍ مِن أىلِ اليمَنِ أتَ وْا عليا يختصِمونَ إليو في ولدٍ، قد
وقعوا على امرأةٍ في طهْرٍ واحدٍ، فقال لاثنتُِ: طِيبا بالولدِ ت٢ذا، فغليا، ثمَّ قال لاثنتُِ: طِيبا بالولدِ ت٢ذا، فغليا،
ثمَّ قال لاثنتُِ: طِيبَا بالولدِ ت٢ذا، فغليا، فقال: أنتم شُركَاءُ مُتشاكسونَ؛
إِنّي مُقرعٌِ بينكم، فمَن قَ رعَ فلو الولدُ، وعليو لصاحِبَ يْو ث لثا الدِّيةِ،
فأقرع بينهم، فجعَلو لمَن قَ رعَ، فضحِك رس ولُ اللِه صلى اللهُ عليو وسلم حتَّى
بدَتْ أضراسُو أو نواجِذُه. رواه ابو داود والنسائي واتٛد
―Aku duduk di sisi Nabi SAW maka datanglah seorang
laki-laki dari Yaman maka ia berkata bahwa tiga orang dari Yaman datang kepada
Ali KW mengadukan sengketa hukum anak kepadanya, mereka telah menjima‘ seorang
wanita dalam satu masa suci. Maka Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak
untuk orang ini, maka kemudian dua orang itu tidak mau dengan bergolak. Maka
kemudian Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak itu untuk orang itu,
maka keduanya tidak mau, Maka kemudian Ali berkata kepada dua orang, relakanlah
anak itu untuk orang itu, maka keduanya tidak mau, maka Ali berkata, kalian
bersama-sama orang yang bertengkar, aku akan mengundi di antara kalian, maka
barang siapa keluar undianya anak ini miliknya, dan ia harus membayar 2/3 diyat
bagi yang lain, maka kemudian Ali mengundi di antara mereka, maka ia menjadikan
anak itu bagi yang keluar undian. Maka Rasulullah
tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.‖
Metode qur‘ah ini pun tidak bisa
dilakukan untuk nasab Ba‘alwi karena metode ini dilakukan hanya ketika
dalil-dalil pengitsbat dan penafi sama kuatnya. Sedangkan dalil yang mengitsbat
nasab Ba‘alwi sangat lemah dan termasuk nasab maudlu (palsu).
Dari ketujuh metode itsbat nasab
yang digariskan oleh para pakar nasab tersebut sudah nyata siapa yang menabrak
metode dan kaidah nasab. yang hari ini masih mengitsbat Ba‘alwi dengan begitu
terangnya kebatalan mereka, maka merekalah yang telah menabrak metode dan
kaidah nasab.
Mencontek Tokoh Wahabi
Dalam Membatalkan
Nasab
Ba’alwi
Ba‘alwi sering mengatakan bahwa hanya
penulis di dunia ini yang membatalkan nssab Ba‘alwi. tetapi di dalam buku ini
Hanif dkk. berterus terang bahwa sudah banyak para ulama lain yang membatalkan
nasab Ba‘alwi. lalu Hanif menuduh penulis mencontek ulama-ulama itu dalam
membatalkan nasab Ba‘alwi.
Tokoh-tokoh ulama itu di antaranya
adalah Murad Syukri, Audah al-Aqili, Muqbil al-Wada‘I, kata hanif semua itu
tokoh Wahabi. Bagi penulis ilmu itu bisa datang dari mana saja. Ketika sebuah
pendapat berbasis dalil maka layak pendapat itu diikuti. Seperti kaum Ba‘alwi
juga tidak pilih-pilih apakah ulama yang mendukung nasab Ba‘alwi itu adalah
kaum Syi‘ah seperti Mahdi Raja‘I atau kaum Wahabi seperti Ibrahim bin Mansur.
Yang jelas, dalil yang penulis
sajikan untuk tesis batalnya nasab Ba‘alwi ini lebih presisi dari ulama-ulama
sebelumnya. Kalau dapat membantah silahkan kemukakan dalilnya!
Tidak Memiliki Kompetensi Ilmu Nasab
Kata Hanif dkk. penulis tidak
memiliki kompetensi dalam Ilmu Nasab. di bawah ini penulis sajikan berbagai
macam kaidah ahli nasab dalam membatalkan nasab Ba‘alwi:
Kaidah ke-1
ات١صلحة فان ظهرت مصلحة عند ات١ثبت او النافي
يتًك قولو غالبا، وقد يعمل بنقيض مصلحتو في حالات ت٥صصة، ولا يؤخذ بقولو الا اذا
وجد ما يعضده عند غتَه ت٦ن ليست ت٢م مصلحة ولم
ينقلوا عن من لو مصلحة،"
Terjemah:
―jika dari seorang yang meng-itsbat dan menafikan
(nasab) jelas ada kepentingan maka biasanya pendapatnya ditinggalkan. Kadang
dalam hal-hal tertentu pendapatnya dapat digunakan jika bertentangan dengan
kepentingannya. Dan tidak dapat diambil pendapatnya kecuali dikuatkan oleh
ulama lainnya yang tidak berkepentingan. Para ulama nasab tidak mengutip dari
orang yang punya kepentingan.‖[16]
Dari kaidah ini kitab-kitab karya
Ba‘alwi seperti Al-Burqah alMusyiqah, Al-jauhar al-Syafaf dsb. atau para
muridnya pendapatnya tidak layak dijadikan hujjah karena di sana ada
kepentingan.
Kaidah ke-2
وعندما ت٨قق النسب فان ات١صادر التى يدكن ان نستقي
منها النسب يجب ان تكون من كتب الانساب القديدة التي كتبت فيما قبل العصر اتٟديث
حيث كان الناس اقرب الى معرفة اصوت٢م
―Dan ketika kita men-tahqiq nasab, maka sumber-sumber yang memungkinkan kita mengambil
darinya, wajib berupa kitabkitab nasab terdahulu yang ditulis sebelum masa
modern, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui keturunan mereka‖[17]
Dari kaidah ini referensi yang
harus digunakan oleh Ba‘alwi dalam mempertahankan nasab adalah kitab-kitab
nasab, bukan kitab sejarah atau tasawuf. sementara kitab nasab yang mencatat
mereka baru pada abad ke-10 H. yang bertentangan isinya dengan kitab-kitab
sebelumnya.
Kaidah ke-3
ولا يدكننا اتٟديث عن النسب القدنً بناءاً على
ما ورد في الكتب اتٟديثة ات١ستندة إلى كلام غتَ منطقى أو على الذاكرة الشعبية
فقط
―Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu
berdasar apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat
yang tidak logis atau berdasar memori bangsa saja.‖[18]
Dari kaidah ini hujjah-hujjah
Ba‘alwi untuk ubaid/ubaidillah/Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa dengan
menggunakan kitab abad ke-10 sementara Ubaid hidup di abad ke 4 H. tertolak
apalagi kitab itu bertentangan dengan kitab abad ke-6 H. Al-Syajarah
al-Mubarakah.
Kaidah ke-4
ويختلف ات١رجع عن ات١صدر في ان ات١صدر اقرب زمان
ومكان وبيئة الاحداث التي يرويها اما ات١رجع فهو ت٥تلف عن ات١صدر في بعض او كل
العناصر السابقة فيحتاج مؤلف ات١رجع الى مصادر ومواد اولية اخرى لات٧از تْثو
ويتًتب على ذلك ان ات١صدر يكون اجدر بالاعتبار في حالة التعارض مع ات١رجع مالم
يحتو ات١رجع على تٖليل دقيق يفند اوجو التعارض من خلال مصادر او مواد اولية اخرى
―Marji‟
(Referensi) berbeda dengan mashdar
(sumber), yaitu bahwa mashdar lebih
dekat waktu, tempat, dan lingkungannya dengan peristiwa yang diceritakannya.
Adapun marji‟ berbeda dengan mashdar pada beberapa atau seluruh unsur
sebelumnya. Maka penulis marji‟
membutuhkan mashdar dan sumber lain
yang primer untuk melengkapi penelitiannya. Oleh karena itu, mashdar lebih laik diiktibar apabila
terjadi pertentangan dengan marji‟,
kecuali jika marji‟ tersebut memuat
analisis yang cermat yang membantah kontradiksi melalui mashdar atau bahan-bahan primer lainnya‖.[19]
Dari kaidah ini jelas, jika kitab
nasab yang baru bertentangan isinya dengan kitab lama maka kitab lama yang
diiktibar (dihitung sebagai hujjah).
Kaidah ke-5
ليس كل من كتب في الانساب حجة وليس كل ما كتب
يصح
الاحتجاج بو
Terjemah:
―Tidak semua orang yang menulis nasab itu bisa
dijadikan hujjah. Dan tidak semua yang ditulis sah untuk dijadikan hujjah‖[20]
Dari kaidah ini, kitab-kitab ulama
yang menyebut nasab Ba‘alwi jika kitab itu bukan kitab nasab. karena kitab yang
sah digunakan sebagai hujjah dalam istbat nasab hanyalah kitab nasab.
Kaidah ke-6
وأعلم أن ات٠بر إذا كان يباين ات١عقول ويخالف
ات١نقول ويناقض الأصول فهو منحول أي موضوع، وات١نحول وات١وضوع لا يحتج بها
.
Terjemah:
―Dan ketahuilah bahwa informasi jika bertentangan dengan
logika dan referensi dan bertentangan dengan ushul maka ia informasi palsu
yakni maudlu‘. Informasi yang palsu dan maudlu‘ tidak dapat dijadikan sebgai
hujjah‖[21]
Dari kaidah ini nasab Ba‘alwi
batal total, ia nasab manhul (palsu), karena ia bertentangan dengan logika:
suatu nasab yang tidak disebutkan selama 550 tahun tiba-tiba muncul mengaku
sebagai keturunan Nabi tanpa ada referensi kitab nasab sebelumnya dan
bertentangan dengan manqul (kitab-kitab nasab).
Kaidah ke-7
وينبغي على باحث الأنساب أن لا يقدس النصوص، فكل
نص عدا كلام الله وحديث رسولو صلى الله عليو والو، فهو يخضع
للتحقيق والتدقيق وىو معرض للخطأ والصواب
Terjemah:
―Dan seyogyanya bagi peneliti nasab untuk tidak
menganggap suci teks-teks (tentang kutipan nasab). maka setiap teks selain
kalam Allah dan hadits Rasulullah SAW ia tunduk untuk bisa diteliti dan
didalami; ia bisa salah dan benar.‖245
Dengan kaidah ini maka setiap
ucapan ulama yang mengutip tentang nasab Ba‘alwi dalam kitabnya seperti Ibnu
Hajar Al-Haitami boleh kita teliti istidlalnya jika mereka menyampaikan dalil,
atau jika tidak menyampaikan dalil maka kita tinggalkan jika bertentangan
dengan kitab-kitab nasab. itulah cara ahli nasab meneliti nasab. bukan dengan
memframing seseorang yang meneliti nasab sebagai orang yang merendahkan ulama.
Kaidah ke-8
ما من أحد إلا يؤخذ من علمو ويتًك إلا رسول اللهملسو هيلع هللا
―Tidak ada seorangpun keculai ilmunya dapat diterima atau
ditolak kecuali Rasulullah SAW.‖[22]
Dari kaidah ini penelitian nasab
yang menguji istidlal kutipan ulama besarpun tidak bertentangan dengan syariat
Islam bahkan dianjurkan.
Kaidah ke-9
لا يحتج بكثرة ات١صادر اذا كانت تنقل من اصل واحد
Terjemah:
―Banyaknya kitab-kitab referensi tidak bisa dijadikan
hujjah jika diambil dari sumber yang satu.‖247
Dari kaidah ini, banyaknya Hanif
Alatas dkk. mengutip kitabkitab yang mengitsbat Ba‘alwi mulai dari abad ke-10
sampai sekarang tidak ada artinya jika semuanya mentok mengutip dari kitab Alburqah
al-Musyiqah karya Ali al-Sakran di abad sembilan Hijriyah.
Kaidah ke-10
اذا عرف الواضع وعرفت علة الوضع اتٞارحة انتفى
الاستدلال
―Ketika sudah diketahui pemalsunya dan diketahui illat
(alasan) pemalsuan yang mencela itu maka hilanglah istidlal (mencari
dalil).‖248
Dari kaidah ini ketika penulis
mengetahui bahwa yang [23]meletakan
nasab Ba‘alwi sebagai keturunan Ahmad bin Isa adalah Ali al-Sakran dan
mengetahui alasan dia meletakan itu yaitu karena ada kemiripan nama maka
hilanglah kekuatan dalil dari nasab Ba‘alwi itu.
artinya nasab Ba‘alwi itu ujug-ujug datang tanpa
dalil sedikitpun.
11-Kaidah keولا يقدم تْال على ما يثبتو النسابة خصوصا ان كانوا اقرب زمانً او مكانً
―(Sejarawan) tidak boleh didahulukan dari penetapan
ahli nasab khususnya jika ahli nasab itu lebih dekat masanya atau tempatnya.‖[24]
Dari kaidah ini seluruh referensi
Hanif dkk. yang seratus kitab itu tidak bisa digunakan sebagai dalil nasab
Ba‘alwi karena kitab-kitab itu hanya kitab sejarah, kitab tasawuf dan
semacamnya. Kitab nasab yang bisa ditunjukan Hanif hanya Al-Nafhah di abad
sembilan yang bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya.
12-Kaidah keلا يؤخذ ىذ العلم الا من مصادره ومراجعو ات١عتمدة .
Terjemah:
―Ilmu ini (penetapan nasab) tidak bisa diambil kecuali dari
sumber-sumber dan referensi-referensinya‖[25]
Dari kaisah ini sama dengan kaidah
sebelumnya bahwa kitab yang bisa dijadikan dalil hanyalah kitab-kitab nasab.
Kaidah ke-13
فالنسب يثبت اذا وجد في رقعة او كتاب بشرط ان
يكون ىذا ات١كتوب قطعي الدلالة على ات١قصود وليس من ات١ؤتلف اي
متشابو الاتٝاء
Terjemah:
―Maka nasab bisa dikatakan diitsbat jika ditemukan
dalam catatan atau kitab dengan syarat apa yang tertulis itu petunjukya jelas
untuk tujuan (mengitsbat nasab) dan bukan termasuk nama yang mirip.‖[26]
Dari kaidah ini nama Abdullah yang
terdapat dalam Al-Suluk (732 H.) yang pada abad ke-9 H. diijtihadi oleh Ba‘alwi
sebagai sama dengan nama Ubaid adalah tidak bisa diterima. Karena itsbat nasab yang
diambil dari satu kitab harus bersifat qathiyy memeiliki kesamaan nama bukan
hanya mirip saja.
Kaidah ke-14
وكَأنًَّ إذَا قُ لْنا: يََ شَريفُ أوْ جَاءَ
الشَّريفُ، وَمَا أشْبوَ ذَلكَ مُوَافقًا الشَّ ريفَ عَلى مَا ذكَرنًَ، فإِذَا
رأيْ نا مَكْتوبًا ليْسَ مَقْصُودُهُ إثْ باتَ النسَبِ لَمْ تَ٨ْمِلْوُ عَلَى إثْ
باتِ النسَبِ ولَا يَجوزُ التَّ عَلقُ بوِ فِي إثْ باتوِ
إذَا كَانَ المَقْصُودُ مِنْوُ غَيْ ر هُ
Terjemah:
―Dan semacam jika kita mengatakan‘Hai Syarif‘ atau ‗Telah
datang seorang Syarif‘ dan semacamnya sesuai dengan apa yang kami sebutkan,
maka jika kita melihat tertulis tulisan yang maksudnya bukan mengitsbat nasab
maka kita tidak boleh membawanya kepada itsbat nasab dan tidak boleh kita
bergantung kepadanya dalam menetapkan nasab ketika maksud tulisan itu bukan
penetapan nasab.‖[27]
Dari kaidah ini kita memahami bahwa
sebutan sayyid atau syarif dalam suatu kitab tidak termasuk itsbat nasab,
seperti ketika
[1] Abu Ja‟far Muhammad bin
al-Hasan al-Tusi, Al-Gaybah,
(Muassasah
Al-Ma‟arif al-Islamiyah, Qum, 1425 H.) h. 199
[2]
Ibnu Inabah, Umdat al-Talib,
(Maktabah Ulum al-Nasab, Tahqiq
Muhammad Sadiq al-Bahr al-Ulum, Iran, T.t.) h. 222
[3] Masa‟ilu Abi Ja‟far wa Mustadrakatuha, (Muassasah Al al- Bait
„Alihim al-Solat wa al-Salam, Beirut, 1431 H.) h. 18.
[4] Lihat Masa‟ilu Abi Ja‟far wa Mustadrakatuha, (Muassasah Al al- Bait
„Alihim al-Solat wa al-Salam, Beirut, 1431 H.) h. 21.
[5] „Ali bin Muhammad bin „Ali
bin Muhammad al-Alwi al-Umari, AlMajdi fi
Ansab al-T‟Alibin, (Maktabah Ayatullah al-Udma al-Mar‟asyi, Qum, 1422 H.)
h. 332
[6] Al-Khatib al-Bagadadi, Tarikh Bagdad, (Dar al-Garbi al-Islami,
Beirut, 1422 H.) j. 13 h. 518.
[7]
Al-Khatib al-Bagadadi, … j. 13 h. 520.
[8] Lihat Al-Syatiri, Adwar al-Tarikh al-Hadramiyyah (
Maktabah Tarim alHaditsah, Tarim, 1403)h. 153
[9]
Al-Umari, Al-Majdi, h. 136
[10]
Khalil bin Ibrahim…h.125
[11]
Husain bin Haidar…h.101
[12]
Khalil bin Ibrahim…78
[13] Al-jaizani…77
[14]
Khlail
bin Ibrahim…h.62
[15]
Husain
al-Hasyimi…h.105
[16]
Abdul Majid al-Qaraja, Al-Kafi al-Muntkhab, 49
[17] Fuad bin Abduh bin Abil
Gaits al jaizani ,Ushulu „Ilmi al Nasab wa alMufadlalah Bain al-Ansab ,h. 76-77
[18]
Ibid,
h. 77
[19] Imad Muhammad al-Atiqi,
Dalil Insya‟I wa Tahqiqi Salasili al Ansab h. 58.
[20]
Khalil bin Ibrahim, Muqaddimat fi „Ilm al-Ansab, h. 83
[21] Khalil bin Ibrahim,
Muqaddimat fi „Ilm al-Ansab, h. 88 245 Khalil bin Ibrahim, h. 85
[22] Al-Ghazali, Ihya Ulum
al-Din, Al-Maktabah al-Syamilah, 1/78 247 Khalil Ibrahim…h.85
[23] Khalil bin Ibrahim….h. 85
[24] Abdurrahman Qaraja…71
[25]
Khalil Ibrahim…86
[26]
Khalil bin Ibrahim…h. 58
[27]
Imam Subki, Fatawa Subki, Al-Maktabah al-Syamilah, Juz-2 h. 461
%20Memanipulasi%20Data%20Kitab%20Al-Gaybah%20Karya%20Al-Thusi%20Tentang%20Ahmad%20bin%20Isa%20Tidak%20Pernah%20Hijrah.jpg)
Posting Komentar untuk "Lanjutan Bab II: Hanif (Alatas) Memanipulasi Data Kitab Al-Gaybah Karya Al-Thusi Tentang Ahmad bin Isa Tidak Pernah Hijrah"
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...